Minggu, 11 Maret 2012

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN HEPATITIS B


KONSEP DASAR PENYAKIT
A.    DEFINISI
Hepatitis B adalah infeksi pada hati yang berpotensi menyebabkan kematian yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global utama dan merupakan jenis yang paling serius dari semua jenis Hepatitis. Penyakit ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan bisa menyebabkan penderitanya beresiko tinggi mengalami kematian akibat komplikasi lebih lanjut menjadi sirosis hati dan kanker hati. (WHO, 2008)
Hepatitis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh virus disertai dengan nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokomia serta seluler yang khas. Hepatitis B merupakan peradangan pada sel-sel hati yang disebabkan oleh HBV (Hepatitis B Virus) dan ditularkan melalui kontak darah maupun cairan tubuh. (Brunner & Suddarth, 2002: 1169)
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus, bersifat akut, terutama ditularkan secara parenteral tetapi bisa juga secara oral, melalui hubungan seksual antara penderita dan orang lain, dan dari ibu ke bayi. (Dorland, 1998: 502)

B.    EPIDEMIOLOGI
Hepatitis B bersifat serius yang tersebar di seluruh dunia, dengan penderita infeksi kronis lebih dari 300 juta orang. Di beberapa negara, terutama di Asia Tenggara, Cina dan Afrika, HBV terjadi endemik, dengan separuh dari penduduknya pernah terinfeksi dan lebih dari 8% penduduknya menjadi pembawa kronis virus tersebut. (Elizabeth J. Corwin, 2009: 667)
Di dunia, setiap tahun sekitar 10-30 juta orang terkena penyakit Hepatitis B. Walaupun penyakit Hepatitis B bisa menyerang setiap orang dari semua golongan umur tetapi umumnya yang terinfeksi adalah orang pada usia produktif. Ini berarti merugikan baik bagi si penderita, keluarga, masyarakat atau negara karena sumber daya potensial menjadi berkurang.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hepatitis B endemik di China dan bagian lain di Asia termasuk di Indonesia. Sebagian besar orang di kawasan ini bisa terinfeksi Hepatitis B sejak usia kanak-kanak. Di sejumlah negara di Asia, 8-10 persen populasi orang dewasa mengalami infeksi Hepatitis B kronik. Penyakit hati yang disebabkan Hepatitis B merupakan satu dari tiga penyebab kematian dari kanker pada pria, dan penyebab utama kanker pada perempuan.
Presiden Perkumpulan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), Prof Dr Laurentius A Lesmana, mengungkapkan tingkat prevalensi penyakit hepatitis B di Indonesia sebenarnya cukup tinggi. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 13,3 juta penderita. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi tahun 2003 (lampiran), di Indonesia jumlah kasus Hepatitis B sebesar 6.654 sedangkan di Sumbar 649, berada pada urutan ke tiga setelah DKI Jakarta dan Jatim. Dari sisi jumlah, Indonesia ada di urutan ketiga setelah Cina (123,7 juta) dan India (30-50 juta) penderita. Tingkat prevalensi di Indonesia antara 5-10%.

C.    ETIOLOGI
Hepatitis disebabkan oleh infeksi dari HBV (Hepatitis B Virus). Beberapa faktor predisposisi terjadinya penularan Hepatitis B adalah:
1.      Kontak dengan darah, sekresi dan tinja dari manusia yang terkontaminasi.
2.      Kontak melalui hubungan intim seksual.
3.      Penularan perinatal
(Lippincott William & Wilkins, 2008: 261)

Cara umum penularan Hepatitis B di negara berkembang adalah:
1.      perinatal (dari ibu ke bayi saat kelahiran).
2.      infeksi awal pada masa kanak-kanak (infeksi subklinis melalui kontak interpersonal dengan kelompok yang terinfeksi).
3.      penggunaan jarum suntik sembarangan.
4.      transfusi darah.
5.      hubungan seksual.
(WHO,  2008)
HBV adalah suatu virus DNA untai ganda yang disebut partikel Dane. Virus ini memiliki beberapa antigen inti dan antigen permukaan yang telah diketahui secara rinci dan dapat diidentifikasi dari sampel darah hasil pemeriksaan lab. HBV memiliki masa tunas yang lama, antara 1-7 bulan dengan awitan rata-rata 1-2 bulan. (Elizabeth J. Corwin, 2009: 667)

D.    PATOFISIOLOGI
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut "Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg).
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis sel perenchym hati. Respon peradangan menyebabkan pembengkakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepattis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati
Perjalanan infeksi virus hepatitis B kronik mengalami 3 fase, yaitu :
a)      Fase replikasi virus yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan jaringan hati, yang ditandai oleh adanya kerusakan jaringan hati oleh kadar transaminase normal, kadar HbeAG dan DNA serum yang tinggi. Dengan kelainan hitologis hati minimal terjadi pada pemeriksaan jaringan hati secara histokimiawi ditemukan HbsAG dan HbeAg.
b)      Fase hepatitis rendah berupa hepatitis kronik ekserbasi akut yang terjadi secara spontan ditandai dengan kadar transminase (SGOT & SGPT) meninggi dan menggambarkan usaha host yang peresisten untuk mencoba mengeliminasi virus yang dari dalam tubuh.
c)      Fase nonreplikasi ditemukan adanya anti Hbe tanpa adanya DNA virus hepatitis B.
Gambaran klinis virus hepatitis B kronik adanya hubungan dengan kemungkinan hepatitis B berasal dari daerah endemik yang mana virus hepatitis B dengan carier rate yang meninggi bisa terjadi pada pengidap hepatitis kronik. Hepatitis kronik berlangsung secara perlahan dan gejala penyakit tidak sesuai dengan keluhan pasien. Kelainan hasil labolatorium terjadi pada bilirubin yang meningkat, kadar HbsAG positif, dan DNA positif.

E.    GEJALA KLINIS
Gejala Hepatitis B mirip gejala flu. Kadang-kadang sangat ringan bahkan tida menimbulkan gejala sama sekali. Hanya sedikit orang yang terinfeksi menunjukkan semua gejala. Karena alasan ini banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis dan terobati. Gejala utama dari Hepatitis B adalah sebagai berikut:
1.      Urtikaria atau artralgia sebelum terjadinya tanda sakit kuning menunjukkan infeksi HBV (Lippincott William & Wilkins, 2008: 260)
2.      Mudah lelah
3.      Demam ringan
4.      Nyeri otot dan persendian
5.      Mual dan muntah
6.      Sakit kepala
7.      Kehilangan nafsu makan
8.      Nyeri perut kanan atas
9.      Diare
10.  Warna tinja seperti dempul (keabu-abuan)
11.  Warna urine seperti teh
12.  Warna kulit dan sklera mata kuning (jaundice), sering disebut penyakit kuning.
13.  Penurunan berat badan 2.5 - 5 kg (sumber: Unit Transfusi Darah PMI Cabang Kota Yogyakarta)

F.    PEMERIKSAAN FISIK
a.       KU (Keadaan Umum)
1.      Kesadaran : compos mentis
2.      Bentuk tubuh : sedang
3.   Postur tubuh : normal
2.      Warna kulit : putih
3.      Turgor kulit : normal
b.      Tanda-Tanda Vital
1.      Suhu
2.      Nadi
3.      Tekanan darah
4.      Respirasi
c.       Keadaan Fisik (head to toe)
1.      Kepala : bentuk  simetris, distribusi rambut merata, kebersihan rambut dan kulit kepala baik, tidak ada nyeri saat ditekan.
2.      Mata : Posisi mata simetris, pupil isokor, konjungtiva pucat, penglihatan kabur, sklera ikterus.
3.      Telinga : bentuk simetris, pendengaran baik, telinga tampak bersih, dan tidak ada sekret.
4.      Hidung : lubang hidung simetris, tidak terdapat sekret, tidak terdapat pernapasan cuping hidung.
5.      Mulut dan gigi: keadaan bibir normal, bersih.
6.      Leher : Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan.
7.      Thorax: Bentuk thorax simetris, respirasi normal (16-20 kali/menit)
8.      Abdomen: Permukaan asimetris, terdapat nyeri tekan dan bising normal.
9.      Ekstremitas :
- Atas : keadaan baik, lemah.
- Bawah : keadaan baik, lemah.
10.  Genitalia :
Tidak dikaji.

G.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK & PENUNJANG
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi.
1.      Pemeriksaan serologi
·         Adanya HBsAg dalam serum merupakan pertanda serologis infeksi hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi.
·         Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi (precore atau core mutant).
2.      Pemeriksaan virologi
Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
3.      Pemeriksaan biokimiawi
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Menurut Price dan Wilson (1995) bahwa kadar normal AST adalah 5-40 unit/ml, sedangkan kadar normal ALT adalah 5-35 unit/ml.
4.      Pemeriksaan histologi (biopsi)
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic Activity Index score.
(JB Suharjo, B Cahyono, 2006)

Sumber lain mengatakan pemeriksaan diagnostik yang dapat memperkuat diagnosis adalah:
1.      ASR (SGOT) / ALT (SGPT)
Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati
2.      Darah Lengkap (DL)
Eritrosit menurun sehubungan dengan penurunan hidup eritrosit (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
3.      Leukopenia
Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
4.      Diferensia Darah Lengkap
Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma.
5.      Feses
Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
6.      Albumin Serum
Menurun, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.
7.      Gula Darah
Hiperglikemia transien/hiperglikemia (gangguan fungsi hati).
8.      Anti HAVIgM
Positif pada tipe A
9.      HbsAG
Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)
10.  Masa Protrombin
Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin.
11.  Bilirubin serum
Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)
12.  Biopsi Hati
Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis
13.  Skan Hati
Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati.
14.  Urinalisa
Peningkatan kadar bilirubin. Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, ia dsekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.

H.    KRITERIA DIAGNOSIS
Keadaan
Definisi Kriteria
Diagnostik
Hepatitis B Kronis
Proses nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B. Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis  dengan HbeAG+ dan HbeAG-
1.      HbsAG+ > 6 bulan
2.      HBV DNA serum > 105 copies/ml
3.      Peningkatan kadar ALT/AST secara berkala/persisten
4.      Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis (skor nekro-inflamasi >4)
Carrier HbsAG inaktif
Infeksi virus hepatitis B persisten tanpa disertai proses nekro-inflamasi yang signifikan
1.      HbsAg+ > 6 bulan
2.      HbeAg-, anti Hbe+
3.      HBV DNA serum < 105 copies/ml
4.      Kadar ALT/AST normal
5.      Biopsi hati menunjukkan tidak adanya hepatitis yang signifikan (skor nekro-inflamasi < 4)
 
(JB Suharjo, B Cahyono, 2006)

I.       THERAPY
Saat ini, ada 4 jenis obat yang direkomendasikan untuk terapi hepatitis B kronis, yaitu : interferon alfa-2b, lamivudin, adefovir, dan peginterferon alfa-2aHal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan obat adalah keamanan jangka panjang, efikasi dan biaya. Walaupun saat ini pilihan terapi hepatitis B kronis menjadi lebih banyak, namun persoalan yang masih belum terpecahkan adalah problem resistensi obat dan tingginya angka relaps saat terapi dihentikan.
a)      Interferon
Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Berdasarkan studi meta analisis yang melibatkan 875 pasien hepatitis B kronis dengan HbeAg positif: serokonversi HBeAg terjadi pada 18%, penurunan HBV DNA terjadi pada 37% dan normalisasi ALT terjadi pada 23% . Salah satu kekurangan interferon adalah efek samping dan pemberian secara injeksi. Dosis interferon 5-10 juta MU 3 kali / minggu selama 16 minggu.
b)      Lamivudin
Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HbeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun. Risiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian. Dalam suatu studi di Asia, resistensi genotip meningkat dari 14% pada tahun pertama pemberian lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69% masing masing pada tahun ke 2,3,4 dan 5 terapi.
c)      Adefovir
Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari DNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling tidak selama satu tahun. Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515 pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir 10mg dan 30mg selama 48 minggu dibandingkan plasebo. Disimpulkan bahwa adefovir memberikan hasil lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal: respon histologi, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA. Keamanan adefovir 10 mg sama dengan plasebo. Hadziyanmis et al memberikan adefovir pada penderita hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg adefovir terjadi penurunan HBV DNA secara bermakna dibandingkan plasebo, namun efikasinya menghilang pada evaluasi minggu ke 48. Pada kelompok yang medapatkan adefovir selama 144 minggu efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%. Kelebihan adefovir dibandingkan lamivudin, di samping risiko resistennya lebih kecil juga adefovir dapat menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin.
d)     Peginterferon
Lau et al melakukan penelitian terapi peginterferon tunggal dibandingkan kombinasi pada 841 penderita hepatitis B kronis. Kelompok pertama mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + plasebo tiap hari, kelompok ke dua mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + lamivudin 100 mg/hari dan kelompok ke tiga memperoleh lamivudin 100 mg/hari, selama 48 minggu. Hasilnya pada akhir minggu ke 48, yaitu: 
1)      Serokonversi HBeAg tertinggi pada peginterferon tanpa kombinasi, yaitu 27%, dibandingkan kombinasi (24%) dan lamivudin tunggal (20%).
2)      Respon virologi tertinggi pada peginterferon + lamivudin (86%). 
3)      Normalisasi ALT tertinggi pada lamivudin (62%).
4)      Respon HBsAg pada minggu ke 72 : peginterferon tunggal 8 pasien, terapi kombinasi 8 pasien dan lamivudin tidak ada serokonversi.
5)      Resistensi (mutasi YMDD) pada minggu ke 48 didapatlan pada: 69 (27%) pasien dengan lamivudin, 9 pasien (4%) pada kelompok kombinasi, dan 
6)      Efek samping relatif minimal pada ketiga kelompok. Disimpulkan bahwa berdasarkan hasil kombinasi (serokonversi HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA dan supresi HBsAg), peginterferon memberikan hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.
(JB Suharjo, B Cahyono, 2006)

J.       KOMPLIKASI
a)      Sirosis hepatis
b)      Hepatomegali

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.    PENGKAJIAN
1.      Biodata
·         Identitas pasien 
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, status, agama, suku, kewarganegaraan, bahasa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, no. Rekam medis.
·         Penanggung Jawab, meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, hubungan dengan pasien.
2.      Alasan dirawat di rumah sakit
·         Alasan dirawat:
Terjadi penurunan fungsi hati
·         Keluhan utama:
Pasien merasa lemah, nyeri abdomen, mengeluh tubuhnya berwarna kuning.
3.      Riwayat kesehatan
1.      Riwayat kesehatan sebelum sakit ini:
Pasien pernah mengalami tifus 5 bulan yang lalu.
2.      Riwayat kesehatan sekarang:
Pasien merasakan keluhan ini sejak 1 tahun terakhir, namun hal tersebut belum sampai mengganggu aktivitasnya. Tetapi tiba-tiba saja 2 hari yang lalu pasien mengalami nyeri hebat pada ulu hati dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
3.      Riwayat kesehatan keluarga:
Seluruh keluarga pasien (nenek ayah dan ibu) tidak pernah ada yang menderita sakit yang parah, namun kakek pasien meninggal karena mengidap Stroke.
4.      Data Bio-Psiko-Sosio-Spiritual
Menurut teori Virginia Henderson, pengkajian terhadap kebutuhan pasien dapat dilakukan diantaranya dari segi:
1.      Bernafas
Pada saat pengkajian pasien tidak mengalami kesulitan saat bernafas.
2.      Makan
Pasien makan tiga kali sehari dan hanya habis sepertiga  porsi karena pasien merasa mual dan pasien mengatakan terjadi penurunan nafsu makan.
3.      Minum
Pada saat pengkajian pasien mengatakan minum kira – kira 7 kali perhari dengan jumlah kira – kira 240 ml.
4.      Eliminasi BAB & BAK
Pasien BAB 1 kali  sehari dengan konsisitensi lembek. Pasien mengatakan 3 – 4 kali sehari, baunya khas dan berwarna gelap, diare feses berwarna seperti tanah liat.
5.      Gerak aktivitas
1.      Kemampuan  ADL :
a)      Kemampuan untuk makan: Pasien  mampu menyuap makanan sendiri.
b)      Kemampuan untuk mandi: Sejak sakit pasien dibantu mandi oleh keluarga 2 kali sehari.
c)      Kemampuan untuk toileting: Pasien mampu ketoilet untuk BAB dan BAK.
d)     Kemampuan untuk berpakaian:  Pasien mampu menggunakan pakaian sendiri.
e)      Kemampuan untuk instrumentalia : Pasien mampu mengunakan alat – alat disekitarnya.
2.      Kemampuan mobilisasi
Pasien mampu mengubah posisi di tempat tidur, mampu duduk di tempat tidur, ketika pasien berdiri dan berpindah pasien merasakan pusing.
6.      Istirahat tidur
Jumlah tidur pasien 10 jam, pasien tidur dari pukul 21.00 wita – 07.00 wita.
7.      Pengaturan suhu tubuh
Pada saat pengkajian suhu tubuh pasien normal yaitu 38° C.
8.      Kebersihan diri
Kebersihan diri pasien terjaga. Untuk aktivitas mandi, pasien dibantu oleh keluarga pasien.
9.      Rasa nyaman
Pasien mengatakan sakit pada bagian kepala, terkadang disertai nyeri ulu hati atau nyeri pada bagian abdomen.
10.      Rasa aman
Pada saat pengkajian pasien mengatakan cemas dan raut wajah  pasien tampak khawatir.
11.      Sosial
·         Pasien mampu berkomunikasi dengan orang lain namun pada saat berkomunikasi pasien tampak lemah.
·         Sosialisasi orientasi terhadap orang, waktu dan tempat baik.
12.  Pengetahuan belajar
Pasien barsedia mengikuti prosedur keperawatan dan mampu mengikuti pada saat pemberian informasi mengenai penyakit yang diderita pasien. Pasien mampu mengikuti nasehat-nasehat yang diberikan oleh tenaga medis.
13.  Rekreasi
Pasien mengatakan untuk mengisi waktu luang, pasien menonton TV dan kadang – kadang berbincang-bincang dengan keluarga atau kerabat.
14.  Spiritual
Pasien beragama hindu, dan hanya bersembahyang di tempat tidur saja. Setiap hari keluarga pasien mengahaturkan banten dan bersembahyang di padmasana rumah sakit.
5.      Pemeriksaan Fisik
a.       KU (Keadaan Umum)
1)      Kesadaran : compos mentis
2)      Bentuk tubuh : sedang ( TB : 160, BB : 58 )
3)      Postur tubuh : normal
4)      Warna kulit : putih
5)      Turgor kulit : normal
b.      Tanda-Tanda Vital
a. Suhu
b.Nadi
c. Tekanan darah
d.            Respirasi
c.       Keadaan Fisik (head to toe)
1.      Kepala : bentuk  simetris, distribusi rambut merata, kebersihan rambut dan kulit kepala baik, tidak ada nyeri saat ditekan.
2.      Mata : Posisi mata simetris, konjungtiva pucat, penglihatan kabur, sklera ikterus.
3.      Telinga : bentuk simetris, pendengaran baik, telinga tampak bersih, dan tidak ada sekret.
4.      Hidung : lubang hidung simetris, tidak terdapat sekret, tidak terdapat pernapasan cuping hidung.
5.      Mulut dan gigi : keadaan bibir normal, gigi lengkap, tidak menggunakan gigi palsu.
6.      Leher : Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan.
7.      Thorax : Bentuk thorax simetris, respirasi normal (16-20 kali/menit)
8.      Abdomen : Permukaan asimetris, terdapat nyeri tekan dan bising normal.
9.      Ekstremitas :
- Atas : keadaan baik, lemah.
- Bawah : keadaan baik, lemah.
10.  Genitalia :
Tidak dikaji.

Data subjektif :
~   Pasien mengeluh sakit kepala, nyeri pada otot, nyeri pada perut bagian kanan atas, mual, anoreksia
Data objektif  :
~   Pasien muntah hingga 4 kali dalam 24 jam
~   Perut kanan atas membesar dan nyeri saat ditekan
~   Jumlah makanan yang dimakan sedikit
~   Sklera menjadi kuning dan selanjutnya diikuti oleh seluruh tubuh
~   Urin secara makroskopik berwarna seperti teh tua dan bila dikocok akan mengeluarkan busa berwarna kuning kehijauan
~   Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hiperbilirubinimia ringan dan hiperbilirubinuria.

B.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang  mungkin muncul:
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (bilirubin indirek) dan distensi abdominal ditandai dengan klien mengeluh nyeri dengan skala nyeri 3, klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang nyeri.
2.      Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan (gangguang emulsi lemak) ditandai dengan IMT kurang dari batas normal (nilai normal IMT: 18,5 – 24,9), perasaan nyeri perut saat makan.
3.      Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran prostaglandin ditandai dengan kulit klien teraba hangat, suhu aksila diatas normal (normal: 36,50 – 37,50 C).
4.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan metabolik (peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit tampak kemerahan, adanya pruritus.
5.      Keletihan berhubungan dengan status penyakit (penurunan kadar glukosa darah) ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering mengeluh mengenai fisiknya, klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam beristirahat.
6.      PK: Anemia
7.      PK: Perdarahan
8.      PK: Infeksi
9.      PK: Hipoalbuminemia
10.  PK: Hiperglikemia
11.  Gangguan sensori persepsi: pengelihatan berhubungan dengan perubahan dalam ketajaman sensori (sklera ikterik) ditandai dengan pandangan kabur.
12.  Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan klien tidak mampu mengakses kamar mandi, ketidakmampuan membersihkan diri sendiri.
13.  Gangguan body image berhubungan dengan kondisi penyakit (ikterik) ditandai dengan klien mengatakan malu dengan kondisi yang dialaminya.
14.  Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan klien tampak gelisah, klien mengalami insomnia, klien tampak khawatir akan kondisinya.
15.  Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi mengenai penyakit ditandai dengan klien tampak gelisah, klien selalu bertanya-tanya mengenai kondisinya.

Diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas:
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (bilirubin indirek) dan distensi abdominal ditandai dengan klien mengeluh nyeri dengan skala nyeri 3, klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang nyeri.
2.      Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan distensi abdominal ditandai dengan IMT kurang dari batas normal (nilai normal IMT: 18,5 – 24,9), perasaan nyeri perut saat makan.
3.      Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran prostaglandin ditandai dengan kulit klien teraba hangat, suhu aksila diatas normal (normal: 36,50 – 37,50 C).
4.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan metabolik (peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit tampak kemerahan, adanya pruritus.
5.      Keletihan berhubungan dengan status penyakit (penurunan kadar glukosa darah) ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering mengeluh mengenai fisiknya, klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam beristirahat.

C.    PERENCANAAN
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (bilirubin indirek) dan distensi abdominal ditandai dengan klien mengeluh nyeri dengan skala nyeri 3, klien tampak meringis, klien tampak melindungi area yang nyeri.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan nyeri klien dapat teratasi dengan outcomes:
·         Klien tidak tampak meringis.
·         Klien tidak melindungi area nyeri.
·         Skala nyeri: 0 (skala 0-10)
Intervensi:
1.      Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien. Kaji faktor yang dapat memperberat atau mengurangi nyeri : lokasi, durasi, intensitas dan karakteristik nyeri serta gejala psikologis.
Rasional : Memantau status nyeri pasien.
2.      Minta pasien untuk menggunakan skala 1 sampai 10 untuk menjelaskan tingkat nyeri pasien.
Rasional : Untuk memfasilitasi pengkajian yang akurat tentang tingkat nyeri pasien.
3.      Pantau dan catat TTV.
Rasional : Perubahan TTV dapat menunjukkan penurunan ataupun perkembangan kondisi.
4.      Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ex. Temperatur ruangan, penyinaran, dll)
Rasional : Suhu ruangan dan penyinaran yang berlebih dapat meningkatkan ketidaknyamanan.
5.      Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman dan gunakan bantal untuk membebat atau menyokong daerah yang sakit bila diperlukan.
Rasional : Untuk menurunkan ketegangan atau spasme otot dan untuk mendistribusikan kembali tekanan pada bagian tubuh.
6.      Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri.
Rasional : Kenyamanan menunjukkan manajemen nyeri yang adekuat.
7.      Kolaborasi
Berikan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis.
Rasional : Analgetik berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri.

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan distensi abdominal ditandai dengan IMT kurang dari batas normal (nilai normal IMT: 18,5 – 24,9), perasaan nyeri perut saat makan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi dengan outcomes:
·         IMT dalam batas normal (18,5 – 24, 59)
·         Terjadi peningkatan dalam porsi makan.
·         Berat badan pasien bertambah ... kg setiap minggu.
·         Pasien makan secara mandiri tanpa didorong.
Intervensi:
1.      Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai. Observasi dan catat masukan makanan pasien.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, mengawasi masukan kalori dan kualitas kekurangan konsumsi makanan.
2.      Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi
3.      Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi gaster.
4.      Berikan dan bantu higiene mulut dengan baik, sebelum dan sesudah makan.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.
5.      Kolaborasi
Konsul dengan ahli gizi
Rasional : Membantu dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
6.      Pantau pemeriksaan laboratorium, misalnya Hb/Ht, BUN, albumin, B12, elektrolit serum
Rasional : Meningkatkan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.

Hipertermi berhubungan dengan pengeluaran prostaglandin ditandai dengan kulit klien teraba hangat, suhu aksila diatas normal (normal: 36,50 – 37,50 C).
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan hipertermi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
·         Suhu tubuh dalam batas normal (36,50 – 37,50 C)
·         Kulit teraba normal
Intervensi:
1.      Pantau suhu klien (derajat dan pola); perhatikan menggigil/diaphoresis.
Rasional : Suhu 38,90 – 41,10 menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis, misalnya kurva demam lanjut berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan pneumonia pneumotokal, demam scarlet atau tifoid; demam remiten menunjukkan infeksi paru; kurva intermiten atau demam yang kembali normal sekali dalam periode 24 jam menunjukkan episode septic, endokarditis septic, atau TB. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
2.      Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
3.      Anjurkan klien untuk mempertahankan asupan cairan yang adekuat (>2000 ml/hari kecuali terdapat kontraindikasi penyakit jantung atau  ginjal)
Rasional : Untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu tubuh yang tinggi.
4.      Berikan kompres hangat.
Rasional : Membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat membantu mengurangi demam
5.      Kolaborasi
Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol).
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan metabolik (peningkatan garam empedu pada darah) ditandai dengan kulit tampak kemerahan, adanya pruritus.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil:
·         Menunjukkan tidak adanya kerusakan kulit.
·         Menunjukkan turgor kulit yang normal.
·         Pruritus berkurang
Intervensi:
1.      Inspeksi kulit pasien, jelaskan dan dokumentasikan kondisi kulit pasien dan laporkan perubahan.
Rasional : Untuk menentukan keefektifan regimen perawatan kulit.
2.      Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang masalah kulitnya.
Rasional : Tindakan ini membantu untuk mengurangi ansietas dan meningkatkan keterampilan koping.
3.      Laksanankan program regimen penanganan untuk kulit yang rusak dan pantau kemajuannya. Laporkan respon terhadap regimen penanganan.
Rasional : Untuk mempertahankan atau memodifikasi terapi saat ini.
4.      Berikan pengarahan kepada pasien dan keluarga dalam program perawatan kulit.
Rasional : Untuk mendorong kepaatuhan.
5.      Atur posisi pasien supaya nyaman dan meminimalkan tekanan pada kulit yang rusak. Ubah posisi pasien selama 2 jam. Pantau frekuensi pengubahan posisi pasien dan kondisi kulitnya.
Rasional : Tindakan tersebut mengurangi tekanan, meningkatkan sirkulasi, dan mencegah kerusakan kulit.
6.      Bantu pasien untuk melakukan tindakan hygiene dan kenyamanan.
Rasional : Untuk meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan dan untuk mencegah infeksi.
7.      Kolaborasi
Berikan obat nyeri sesuai program dan pantau keefektifannya.
Rasional : Pengurangan nyeri diperlukan untuk mempertahankan kesehatan.

Keletihan berhubungan dengan status penyakit (penurunan kadar glukosa darah) ditandai dengan klien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasanya, klien tampak mengantuk, klien sering mengeluh mengenai fisiknya, klien mengalami peningkatan kebutuhan dalam beristirahat.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan keletihan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
·         Menunjukkan kemampuan dalam melakukan aktivitas
·         Kebutuhan dalam beristirahat kembali normal
·         Menunjukkan pengetahuan mengenai tindakan-tindakan untuk mengurangi keletihan
Intervensi:
1.      Ajarkan pasien untuk hemat energy dengan cara istirahat, perencanaan dan penentuan prioritas.
Rasional : Untuk mencegah atau meringankan keletihan.
2.      Anjurkan pasien untuk selingi aktivitas dengan periode istirahat.
Rasional : Penjadwalan periode istirahat yang teratur dapat membantu menurunkan keletihan dan meningkatkan stamina.
3.      Dorong pasien untuk makan makanan yang kaya zat besi dan mineral, jika tidak dikontraindikasikan.
Rasional : Tindakan tersebut dapat membantu menghindari anemia dan demineralisasi.
4.      Tunda makan bila pasien mengalami keletihan.
Rasional : Agar kondisi pasien tidak memburuk.
5.      Berikan makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering.
Rasional : Untuk menghemat energi pasien dan mendorong peningkatan asupan diet.
6.      Tetapkan pola tidur yang teratur.
Rasional : Tidur pada malam hari 8 sampai 10 jam dapat membantu mengurangi keletihan.
7.      Hindari situasi penuh emosional.
Rasional : Dapat memperburuk keletihan pasien.
8.      Diskusikan efek keletihan terhaadap aktivitas hidup sehari-hari dan tujuan personal. Gali bersama pasien hubungan antara keletihan dan proses penyakit.
Rasional : Membantu meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal istirahat dan aktivitas. 

D.    EVALUASI
1)      Nyeri akut teratasi dengan respon:
·         Klien tidak tampak meringis.
·         Klien tidak melindungi area nyeri.
·         Skala nyeri: 0 (skala 0-10)
2)      Kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi dengan respon:
·         IMT dalam batas normal (18,5 – 24, 59)
·         Terjadi peningkatan dalam porsi makan.
·         Berat badan pasien bertambah ... kg setiap minggu.
·         Pasien makan secara mandiri tanpa didorong.
3)      Hipertermi dapat teratasi dengan respon:
·         Suhu tubuh dalam batas normal (36,50 – 37,50 C)
·         Kulit teraba normal
4)      Kerusakan integritas kulir dapat teratasi dengan respon:
·         Menunjukkan tidak adanya kerusakan kulit.
·         Menunjukkan turgor kulit yang normal.
·         Pruritus berkurang
5)      Keletihan dapat teratasi dengan respon:
·         Menunjukkan kemampuan dalam melakukan aktivitas
·         Kebutuhan dalam beristirahat kembali normal
·         Menunjukkan pengetahuan mengenai tindakan-tindakan untuk mengurangi keletihan


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Hepatitis. (online).
http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=37 (akses tanggal 17 Mei 2011)

Anonim. 2007. Hepatitis B. (online). 
http://golongandarah.net/artikel_detail.php?act=view&id=1 (akses 17 Mei 2011)

Anonim. 2008. Hepatitis B. (online).
http://www.totalkesehatananda.com/hepatitisb1.html (akses tanggal 17 Mei 2011)

Anonim. 2009. Hepatitis B. (online).
http://www.jakartalantern.com/content/health-topic/hepatitis/77-hepatitis-b.html (akses tanggal 17 Mei 2011)

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Penyakit. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC

JB Suharjo, B Cahyono. 2006. Tinjauan Kepustakaan Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronis. (online: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_150_Diagnosismenajemenhepatiskronis.pdf/05_150_Diagnosismenajemenhepatiskronis.html, akses tanggal: 17 Mei 2011)

Lippincott Willian & Wilkins. 2008. Nursing The Series For Clinical Exellence – Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: Indeks.

Taylor, Cinthya M.; Ralph, Sheila Sparks. 2011. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC.

WHO. 2008. Hepatitis B. (online: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/, akses tanggal: 17 Mei 2011)